
AKU MERASA KASIHAN
Pagi yang cerah
mengawali hariku, angin yang bertiup sepoi sepoi ditambah dengan burung
berkicauan hilir mudik kesana kemari kian menambah suasana. Dengan menenteng
tas trucker hitam dan dibalut dengan jaket varsity, rasanya
setelan seperti ini sudah dibilang gaul bagi anak anak SMA seusiaku. Sambil
menaiki vespa matic warna kuning, aku berangkat menuju sekolah. Di sepanjang
perjalanan, aku menemukan berbagai macam manusia. Mulai dari seorang pekerja
yang entah memikirkan apa melamun di depan indomaret, sampai emak emak rempong
yang sibuk menawar ongkos naik becak.
![]() |
Sumber : Pixabay |
Namaku Alfin, umurku
18 tahun. Aku bersekolah di SMA Negeri 7 Malang. Jarak antara sekolah dan
rumahku dapat dikatakan cukup jauh, sehingga aku selalu berangkat pagi pagi
agar tidak terlambat. Di antara banyaknya hal yang kulihat saat perjalanan, ada
satu pemandangan yang membuat hatiku terenyuh. Seorang ibu ibu yang tampak
berumur 40 tahun berjualan krupuk di pinggir jalan, di sampingnya ada anak
kecil perempuan yang kemungkinan adalah anaknya. Didepannya terlihat gerobak
kecil yang penuh dengan kerupuk jualannya, sepertinya kerupuk itu masih belum
ada yang laku satupun. Ibu ibu itu tampak menawarkan dagangannya kepada setiap
pengendara yang lewat, aku bisa merasakan betapa gigihnya beliau menjajakan
dagangannya, namun suara beliau terdengar lirih sehingga tidak ada seorangpun
yang mampir membeli. Begitu pula dengan aku, karena sebelumnya aku telah
sarapan di rumah, maka aku hanya melewati dan tidak berniat untuk membeli
dagangannya. Meskipun mereka terlihat melas dan berharap ada seseorang yang
mampir membeli.
Sesampainya di
sekolah, seperti biasa aku mengambil tempat duduk sebelah kiri supaya dapat
menikmati pemandangan dari jendela. Kelas hari ini dimulai dengan pelajaran
agama islam, disitu sang guru menjelaskan mengenai pentingnya saling tolong
menolong sesama manusia dalam membina ukhuwah islamiyah. Sesaat kemudian aku
tersadar dan teringat dengan ibu ibu yang berjualan krupuk tadi. Entah mengapa
aku merasa bersalah setelah tadi hanya melewatinya. Padahal aku tahu mereka benar
benar membutuhkan, bisa jadi mereka juga sedang menahan lapar. Manusia model
apa aku ini, membiarkan orang lain terus menerus larut dalam penderitaan dan
kelaparan. Tekadku telah bulat, rencananya aku akan membantu ibu dan anak
penjual krupuk itu.
Setiap hari tiap kali
aku berangkat ke sekolah, aku selalu mampir untuk membeli dagangan mereka. Meskipun
aku tidak tahu krupuk itu akan kukemanakan, namun aku telah berjanji kepada
diriku sendiri untuk membantu melarisi dagangan ibu itu. Lagipula harga
krupuknya terbilang murah sehingga tidak mengurangi uang jajanku. Seringnya
diriku mampir juga membuat mereka hafal dengan wajahku, tak jarang mereka
selalu menyiapkan krupuk yang biasanya kupesan sebelum diriku datang. Ketika
ibuku masak berlebih, aku selalu membungkusnya untuk diberikan ke anak
perempuan penjual krupuk itu. Semangat mereka dalam mencari sesuap nasi
sangatlah tinggi, bahkan ketika hari liburpun mereka tetap berjualan. Ketika
liburan aku juga tetap mampir dan mengajak anak perempuannya bermain.
Kehadiranku memberikan perubahan dalam hidup mereka. Yang biasanya dipenuhi
oleh hawa penderitaan dan keputusasaan beralih menjadi hangat dan bahagia.
Suatu hari aku
mendapati ibu ibu itu tak berjualan di tempatnya, awalnya aku berpkir mungkin
saja salah satu dari mereka sakit sehingga tidak berjualan. Namun di hari hari
berikutnya mereka juga masih tidak berjalan. Ada apa gerangan? Apakah mereka
mereka tidak berjualan di tempat itu? Atau jangan jangan mereka sudah tidak
berjualan lagi? Karena penasaran, aku pun berusaha mencari tahu. Aku mulai
mencari informasi dengan menanyai masyarakat di sekitar. Beberapa dari mereka
tidak tahu, namun saat aku menanyai salah satu orang, “Oh, penjual krupuk yang
di pinggir jalan itu ya? Kemarin katanya meninggal gak tau kenapa. Anaknya juga
gak tau sekarang dirawat siapa.” Deggg.... hatiku bergetar saat mendengar
pernyataan itu. Bisa dibayangkan betapa hancurnya perasaanku manakala mendengar
orang yang selama ini menemani hari hariku tiba tiba saja meninggal. Aku tidak
boleh tinggal diam, aku harus mencari penyebab mengapa ibu ibu penjual krupuk
itu meninggal.
Aku berlari menuju
gudang rumah, membuka mesin waktu buatan kakekku yang sudah lama tidak
digunakan. Berbekal dengan ingatanku dulu saat kakek mengajari, aku mulai
mengoperasikan mesin waktu itu. Hanya dengan inilah mungkin satu satunya cara
untuk mengungkap mengapa ibu itu meninggal dunia. Mungkin kalian bertanya
tanya, mengapa aku segitunya peduli dengan ibu ibu penjual krupuk itu?
Entahlah, aku hanya merasakan di antara kita terjalin sebuah ikatan energi yang
tidak dapat putus. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya mesin waktu itu
menyala. Aku segera masuk ke dalam mesin waktu itu dan melakukan perjalanan
waktu yang cukup mendebarkan. Melewati dimesi dan nebula warna warni yang sulit
dijelaskan. Beberapa kali diriku tersengat oleh listrik, namun tidak apa apa
karena bagiku itu merupakan tanda perjuangan.
Singkat cerita aku
sampai di sebuah tempat yang kemungkinan rumah dari ibu ibu penjual krupuk itu.
Saat aku melihat ponsel, rupanya benar, aku telah kembali ke masa lalu tepat
sebelum ibu ibu penjual krupuk itu meninggal. Tanpa pikir panjang lagi, aku
segera masuk ke dalam rumah itu untuk menyelidiki apa sebab kematiannya. Baru
saja aku menginjak terasnya, tiba tiba aku mendengar suara ibu ibu itu.
Terdengar beliau sedang memarahi anak perempuannya yang rewel. Aku pun
mendengar percakapan mereka lewat celah jendela.
“Ayo to nak....
Jangan rewel, ikut bunda kerja....” Pinta ibu ibu itu.
“Gak mau gak
mau.... Panyaaas......” Ucap anak perempuannya dengan nada khas.
“Kamu ini ya...
Sok sok an gak ikut kerja.... Mau makan apa besok? Kalau ndak ada kamu, orang orang gak bakal kasian. Kamu
mau kayak kemaren tak suruh ngemis di prapatan?”
Sang ibu menaikan nada bicaranya sambil terdengar beberapa kali memukul anaknya.
“Ampun maaa...
Ampun maaa...” Anak itu memohon keras.
Jujur aku shock
mendengar hal itu, rupanya orang yang selama ini kutolong tidak sepenuhnya
baik. Anak sekecil itu yang seharusnya bermain dengan teman temannya, malah
harus bertarung dengan hawa panas dan rasa lelah menemani ibunya bekerja. Sang
ibu juga tidak tahu malu, beraninya dia menggunakan anak kecil itu sebagai
bahan agar orang orang kasihan, bahkan dia sempat menyuruh anak itu untuk
meminta minta. Memang benar benar biadab, ini sudah termasuk ranah eksploitasi
anak di bawah umur. Bisa dikatakan juga aku telah terjebak dalam tipu muslihat
ibu ibu itu.
Aku naik pitam,
wajahku memerah dan gigiku gemertak. Bukannya aku tidak ikhlas membantu mereka
selama ini, hanya saja aku tidak suka dengan orang orang yang mengeksploitasi
anaknya. Anak merupakan karunia Tuhan, tentunya bekerja bukanlah kewajiban
utamanya. Emosiku tidak dapat teredam, aku segera mengambil gunting taman yang
pada waktu itu tergeletak di teras, masuk ke dalam rumahnya, dan Croooot.......
aku menusukan gunting taman itu ke punggung ibu ibu penjual krupuk itu. Darah
bercucuran keluar, erangan kata kata keluar dari mulutnya, dengan segera ibu
ibu itu ambruk ke lantai. Aku melihat anak perempuannya, dia hanya diam membisu
meskipun melihat ibunya terkapar ditusuk oleh orang lain. Pandangannya kosong,
sehingga terlihat bahwa dia begitu trauma dengan ibunya. Aku begitu jahat, bisa
bisanya aku membunuh seorang ibu di depan anaknya. Entah bagaimana nanti dia
begitu trauma, namun yang jelas hanya inilah cara satu satunya melepas dia dari
belenggu tirani.
Dengan tangan yang masih bercucuran darah,
aku kemudian menggendong anak itu menuju panti asuhan. Di panti asuhan aku
menjelaskan semuanya dan syukurlah mereka mau menerima anak itu. Singkat cerita
aku kembali ke waktu sebelumnya dimana saat aku baru menyadari tentang kematian
ibu ibu penjual krupuk itu. Disitu aku merasa bahagia karena melihat anak yang
kuselamatkan tadi memakai baju seragam putih merah menuju ke sekolah. Anak itu
tampak melihat dan kemudian melambaikan tangan kepada diriku. Aku hanya bisa
membalasnya dengan senyuman. Kini tinggal saatnya aku menanggung resikonya, aku
harus mendekam di penjara selama 8 tahun karena tindak pidana pembunuhan.
Memang terasa pahit, namun aku bangga karena dapat menyelamatkan satu generasi
yang berpotensi membangun bangsa.
SELESAI

0 Comments